Ditengah globalisasi yang semakin meluas di abad 20
ini, kita masih sangat sering melihat ikatan primordial yang begitu mengakar di
masyarakat kita. Ikatan primordial seperti
kesukuan ataupun keagamaan seperti menjadi ideology tersendiri diantara
para pengikutnya. Beberapa waktu yang lalu, teman angkatan saya di kedokteran
unhas terkena sabetan parang dilehernya akibat dampak perang antar suku yang
meluas di Makassar dan nampaknya hampir tiap tahun ada saja orang yang
meninggal karena kericuhan yang dipicu oleh ikatan primordial ini.
Anehnya, loyalitas kesukuan terus terpelihara hingga
di tingkat pemuda dan mahasiswa. Mading-mading di berbagai universitas dihiasi
dengan pamflet musyawarah besar berbagai organda (organisasi daerah). Di beberapa
kampus bahkan ikatan kekusukuan menjadi kekuatan politik tersendiri untuk merebut
kekuasaan di tingkatan eksekutif mahasiswa. Entah apa yang diajarkan atau apa
yang menjadi tujuan mereka, tetapi bagi saya ikatan kesukuan berlebihan ini
tidak ada bedanya dengan ikatan kesukuan
pada zaman pra-Islam.
Sebelum Islam lahir, ikatan kesukuan diantara
suku-suku di Arab sangatlah kental. Seperti pepatah popular Arab :”bantulah
saudaramu entah dia sedang dirugikan atau merugikan orang lain.” Saudara yang
dimaksud tentu saja orang yang satu suku. Setiap anggota suku di Arab harus
selalu siap membela kerabatnya. Seperti sebuah syair Arab kuno :”aku seorang
Ghazziyya, jika ia berada pada pihak yang salah maka aku akan berdiri dipihak
yang salah dan jika Ghazziya ke arah yang benar aku akan pergi mengikutinya.”
Loyalitas tak terbatas pada suku tertentu tidaklah
lebih buas seperti yang dilakukan oleh Amerika dan Eropa. Ekspansi ekonomi
Amerika diperluas seluas-luasnya bahkan telah berubah menjadi imprealisme
ekonomi dengan tujuan untuk memakmurkan diri dan bangsa mereka sendiri. Eropa
dengan hegemoni budayanya telah memaksa masyarakat global berbudaya tunggal,
budaya barat. Tidaklah layak memelihara chauvinisme ditengah masyarakat kita
sementara selama ini kita mencerca chauvinisme ala Barat.
Masa pra-Islam yang dikenal dengan sebutan masa
Jahiliyah (masa kegelapan atau masa kebodohan) coba didobrak oleh Rasulullah
dengan Islam. perang antar suku sebagai efek dari ikatan kekerabatan yang
terlalu kental direduksi dengan ajaran silaturahmi. Ajaran silaturahmi yang
tidak terbatas hanya untuk sebatas kerabat sesuku atau seagama atau masyarakat
sebangsa atau sesama manusia tetapi untuk seluruh alam semesta. Inilah yang
disebut sebagai rahmatan lil alamin. Rahmat bagi alam semesta.
Yesus pun
datang ke Bumi untuk mengajarkan ajaran kasih. Ketika ajaran yang
berkembang pada masa itu “mata diganti mata, gigi diganti gigi, Yesus justru
berkata janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat padamu, siapapun yang
menampar pipi kirimu maka berikan jugalah kepadanya pipi kananmu. Yesus
mengajarkan kita untuk mengasihi seluruh manusia bahkan musuh sekalipun.
Konfusius, seorang guru Bijak dari China mengajarkan
kepada kita Ren. Ren berarti memperlakukan semua orang dengan hormat. Jangan
melakukan sesuatu yang jika hal itu dilakukan pada diri anda, anda tidak
menyukainya. Jika anda tidak suka wilayah anda diserang maka janganlah
menyerang wilayah musuh. Juga yang penting dari Ren, jika anda ingin
mendapatkan pangkat tertentu maka bantulah orang lain untuk mendapatkannya.
Kesemua ajaran ini mengajarkan kita cinta universal. Bukan persaudaraan buta juga
bukan loyalitas tak terbatas.
Francis Fukuyama pun telah mengingatkan kita bahwa
Negara-negara yang memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat cenderung korup dan
nepotism. Mungkin ajakan Karen Armstrong untuk mengembangkan Compassion (rasa
belas kasih) untuk seluruh umat manusia penting untuk dijadikan rujukan kita.
Karen Armstrong pun telah mengingatkan bahwa insting Fighting, feeding, fleeing
and reproduction (berkekahi, makan, kabur dan kawin) adalah insting reptile
yang merupakan nenek moyang manusia dulu. Homo sapiens telah berevolusi dan
mengembangkan system untuk melindungi diri dari keempat insting ini. Kita
adalah homo sapiens, bukan lagi reptile purba.
Semoga kekerasan yang dipicu oleh ikatan-ikatan
primordial dapat tereduksi dan akhirnya kita dapat hidup dengan shalom (damai)
dengan masyarakat global.
Tulisan
ini terinspirasi oleh diskusi lepas dengan teman-teman di kedokteran Unhalu
(kendari) dan kami sama-sama menyampaikan keprihatinan akan makin mengakarnya
ikatan primordial dikampus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar