Abad 20 dikenal sebagai
era modern. Beberapa filsuf bahkan
mengkalim beberapa decade ini sebagai masa radikalisasi modernitas. Masa dimana modernitas merasuki seluruh
sendi-sendi kehidupan manusia. Pakar
sosiolog dan filsuf pun sepakat bahwa modernitas meniscayakan profesionalisme.
Berbagai profesi berlomba-lomba
menyediakan system yang baik agar dapat menjawab tantangan pasar. System yang
baik itu dimulai dari system pendidikan, deskripsi pekerjaan, rekrutmen dsb.
Dokter sebagai salah
satu tenaga professional dibidang
kesehatan menata system tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan seperti
penataan kompetensi dokter Indonesia disertai uji kompetensi dokter Indonesia
(CBT dan OSCE), perubahan kurikulum dan
meluncurkan UU praktek kedokteran. Berbagai upaya itu dirasa belum cukup untuk
menghasilkan dokter professional. Produk dokter yang dihasilkan dari masa kuliah selama 5 tahun masih dirasa
belum cukup kompeten, sehingga pemerintah melalui kementrian kesehatan
meluncurkan permenkes no 299 tahun 2010 tentang internship. Internship
didefinisikan sebagai pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan
kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif,
mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran
dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Intinya
internship bertujuan untuk mematangkan kempetensi dokter yang dihasilkan. Secara tekhnis, program internship diwajibkan
kepada seluruh dokter yang telah lulus UKDI, dijalankan selama setahun di RS
tipe C, tipe D atau puskesmas di ibukota provinsi atau ibukota kabupaten. 5
dokter internship akan disupervisi oleh seorang dokter pembimbing dan dokter
pembimbing wajib mengadakan evaluasi kasus tiga bulan sekali. Karena peserta
internship adalah dokter (bukan lagi mahasiswa) maka dokter yang sedang
menjalani internship diberikan biaya hidup sebesar Rp. 1.200.000 per bulan.
Bagi yang tidak menjalankan internship maka tidak akan diberikan Surat tanda
registrasi (STR) yang berarti dokter tersebut dilarang berpraktek dimanapun
diwilayah Indonesia.
Upaya menghasilakn
dokter professional melalui program internship ini akhirnya menuai polemik. Masalah pertama adalah bagaimana mungkin
dokter yang telah lulus UKDI masih dianggap tidak berkompetensi?logikanya
adalah setiap orang yang telah lulus uji kompetensi artinya telah
berkompetensi. Kedua adalah persoalan
biaya hidup. Bagaimana mungkin dokter dituntut professional dalam bekerja
sementara upahnya dibawah Upah minimum regional (UMR). Bagaimana mungkin dokter
yang merupakan tenaga professional dibayar dibawah UMR?ketiga adalah berbagai
persoalan teknis yang terjadi dilapangan seperti intimidasi atau pembebana
kerja kepada dokter internship, biaya hidup yang telat dibayar, wahana yang
tidak siap dsb. Bagaimana mungkin system yang dikelola secara tidak
professional akan menghasilkan produk yang tidak professional?
Layangan penolakan
internship oleh komisi IX DPR RI dua bulan yang lalu semakin meyakinkan kita
betapa internship ini produk yang perlu dipertanyakan. Indikasi bahwa internship adalah akal-akalan
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dokter murah diseluruh wilayah Indonesia
pun berkembang. Dengan internship,
pemerintah tentu tidak perlu repot-repot membayar mahal tenaga dokter.
Menurut penulis,
permenkes no 299 tahun 2010 sebagai dasar yuridis hadirnya intership bukanlah
jawaban atas tuntutan profesionalisme. Substansi intership adalah pematangan
kompetensi dokter. Seharusnya proses pematangan ini terintegrasi di dalam
system pendidikan kedokteran. Usaha pemandirian dokter harusnya terintegrasi
dengan pendidikan kedokteran sehingga produk pendidikan kita adalah produk yang
siap pakai bukanlah produk gagal yang masih dianggap belum mandiri. Jadi,
subtansi pemandirian ini bisa dimasukkan setelah melewati masa coass dan
sebelum menjadi dokter. Olehnya, upaya kemenkes ini adalah upaya yang salah
alamat dan salah langkah. Salah alamat karena tanggung jawab kualitas dokter
ada ditangan kementrian pendidikan. Selain itu, kecilnya biaya hidup yang
diberikan akibat minimalnya APBN kesehatan (tidak sampai 3%). Bandingkan dengan
Malaysia yang mampu memberikan biaya hidup sekitar Rp. 10juta perbulan kepada
dokter internshipnya. Salah langkah karena sekali lagi, program internship
bukanlah jawaban atas tuntutan profesionalisme.
Semoga pemerintah dengan
segera mengevaluasi internship dan segera memperbaikinya. Semoga kualitas dokter
semakin professional di masa mendatang. MERDEKA.
Bagaimana mungkin system yang dikelola secara tidak professional akan menghasilkan produk yang tidak professional?
BalasHapus*maksud-x mungkin produk yang professional kanda :)
Like this posting :D
Keren tulisannya! Maju gondrong! \(^^)/
BalasHapus@adit : ooh, iya, salah tulis, terlalu semangat mungkin..hahaha..
BalasHapus@dini : nda gondrong mi coy..haha
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus