Abad 20 ditandai dengan semakin
mengguritanya kapitalisme. Seiring ramalan Francis Fukuyama bahwa kapitalisme
adalah satu-satunya logika yang dapat bertahan hingga kini dan nanti, logika
ekonomi yang mendasarinya merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Efeknya
adalah semakin membahananya konsumerisme. Dari berbagai dialektika yang
berkembang, konsumerisme ini sesungguhnya sedang berusaha menguras uang
masyarakat dan memperkaya pemilik modal. Konsumsi berlebihan tentu akan
berakibat pada tidak sehatnya ekonomi dan merusak karakter bangsa. Akantetapi, bagaimana
efek konsumerisme terhadap kesehatan?
Dijaman dulu, dunia hanya
disibukkan dengan penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah, tifoid dsb
nya, tetapi dizaman sekarang ini telah berkembang non-comunicable disease (penyakit
tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, stroke dsb).
Data WHO menyebutkan 17 juta warga Indonesia adalah penderita diabetes mellitus
(kencing manis) sehingga Indonesia berada diperingkat ke-4 sebagai penderita
Diabetes Melitus (DM) terbanyak di dunia dunia. Secara teori, efek DM bisa
menyebabkan kebutaan, kerusakan ginjal, saraf, jantung atau menyebabkan stroke.
DM juga membuat pasien merasa lemas sehingga sangat mengurangi
produktifitasnya. Untuk peyakit jantung koroner (PJK) adalah pembunuh nomor
satu di Indonesia. Di tahun 2012, diperkirakan 1 juta warga Indonesia terkena
kanker. Sementara itu, Yayasan stroke Indonesia merilis bahwa penderita stroke
di Indonesia adalah yang terbanyak di Asia. Berbagai penyakit degenerative
seperti diatas dapat mengakibatkan kecacatan hingga kematian, sehingga quality
of life penderitanya menurun drastis. Lama perawatan terhadap penyakit tersebut
juga menjadi masalah tersendiri karena akan memperlama rendahnya kualitas hidup
pasien. Belum lagi persoalan pembiayaan yang begitu besar. Bayangkan saja,
untuk biaya operasi jantung atau kemoterapi bisa memakan dana puluhan hingga
ratusan juta rupiah. Jika pembiayaan ini ditanggung oleh pasien, tentu akan
memiskinkan pasien dan keluarganya dan jika dibebankan kepada Negara maka akan
sangat membebani APBN kita.
Hal yang membuat lebih parah adalah
pergeseran prevalensi penyakit tidak menular mulai bergeser dari umur 40-an
keatas menjadi 30-an keatas. Pergeseran ini seolah menghancurkan mitos bahwa
Non-Comunicable Disease hanya menyerang orang tua saja. Para ahli juga memperkirakan
non-comunicable disease akan terus meningkat seiring dengan makin pasifnya
pekerjaan di masa yang akan datang. Berada diatas kursi atau didepan komputer
adalah pekerjaan yang sangat mendominasi, sehingga semakin mengurangi gerak
masyarakat. Kemajuan technology juga membuat masyarakat semakin malas untuk
bergerak.
Konsumenarisme meniscayakan
hiperealitas. Makna objek melebihi realitas objektifnya. Junk food yang
merupakan makanan tidak sehat berhasil melekatkan tanda pada dirinya sebagai
makanan kelas atas, sehingga menimbulkan kesan “orang berada” kepada
konsumennya. Begitu pula dengan rokok, dengan citra yang ditampilkan media
secara terus-menerus telah berhasil memberikan makna keren pada setiap perokok.
Hiperealitas ini mengakibatkan konsumerisme sehingga berujung pada semakin
sakitnya masyarakat.
Perubahan pola penyakit seharusnya
mampu mendorong pemerintah untuk semakin kreatif dalam menyehatkan
masyarakatnya. First lady USA, Michelle obama misalnya, rela menari let’s move
didepan kamera untuk mendorong pemberantasan obesitas di negaranya. Negara-negara
maju juga memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam membatasi peredaran
rokok. Sementara di Indonesia, mengesahkan Peraturan Presiden tentang
pengendalian tembakau saja harus melalui dinamika yang begitu sulit, kampanye
tentang gizi seimbang tak terdengar lagi gaungnya, APBN untuk kesehatan tidak
pernah sesuai amanah UU (amanah UU 5%, tetapi yang dianggarkan tidak pernah
mencapai 3%). Di Indonesia, setiap orang nampak bebas merokok dimanapun mereka
mau, artinya pemerintah telah gagal dalam usaha penyediaan udara yang bersih
sesuai dengan amanah UU. Pemerintah juga nampak tidak mampu mengendalikan
dibukanya gerai-gerai junk food, artinya pemerintah telah gagal menyediakan
pilihan makanan sehat bagi warganya. Saya masih sangat yakin, masyarakat
Indonesia lebih mengenal slogan “empat sehat lima sempurna” dibandingkan “gizi seimbang,” itu artinya pemerintah telah
gagal mengkampanyekan makanan sehat untuk masyarakat. Ditambah lagi anggaran
kesehatan yang telah melanggar amanah UU, yang berarti pemerintah tidak menaruh
perhatian yang serius terhadap persoalan kesehatan bangsa. Pemerintah Nampak
seperti sedang terserang stroke sehingga lumpuh dan tidak mampu lagi
menyehatkan warganya. Padahal masyarakat
kini sedang sakit. Tentu saja, kita sedang menunggu obat yang kreatif, tegas
dan berkesinambungan dari pemerintah untuk kembali menyehatkan warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar