Pada
tanggal 17 mei 2013, ADMIN (aliansi dokter muda Indonesia) berkumpul dan
berorasi di depan sekretariat IDI untuk menuntut penghapusan pelaksanaan UKDI (Uji
Kompetensi dokter Indonesia) secara nasional. Pelaksanaan UKDI dinilai memiliki
banyak persoalan, diantaranya biaya UKDI yang mahal dan sejumlah 1770 dokter
yang belum memiliki surat tanda registrasi (STR) akibat belum lulus UKDI.
Banyaknya retaker (dokter yang UKDI lebih dari satu kali) tentu akan menimbulkan masalah tersendiri, karena kebutuhan dokter di Indonesia terus meningkat sementara ribuan dokter harus menganggur karena terhalang oleh UKDI. Selain itu, beban psikologis yang dialami oleh para retaker juga menjadi persoalan tersendiri. Kesulitan UKDI yang lain adalah karena bedanya kualitas dan kuantitas tenaga pengajar serta fasilitas kampus kedokteran sehingga membuat kampus kedokteran di daerah perifer cenderung memiliki tingkat kelulusan UKDI yang lebih rendah.
Banyaknya retaker (dokter yang UKDI lebih dari satu kali) tentu akan menimbulkan masalah tersendiri, karena kebutuhan dokter di Indonesia terus meningkat sementara ribuan dokter harus menganggur karena terhalang oleh UKDI. Selain itu, beban psikologis yang dialami oleh para retaker juga menjadi persoalan tersendiri. Kesulitan UKDI yang lain adalah karena bedanya kualitas dan kuantitas tenaga pengajar serta fasilitas kampus kedokteran sehingga membuat kampus kedokteran di daerah perifer cenderung memiliki tingkat kelulusan UKDI yang lebih rendah.
UKDI
sendiri telah berlangsung sejak tahun 2007 dan dilandasi oleh UU no 29 tahun
2004 tentang praktik kedokteran. UU tersebut mengamanatkan bahwa syarat
pengambilan STR dokter harus memiliki surat lulus kompetensi. Saat ini, ada dua
jenis UKDI yaitu CBT (computer based testing/ujian tulis) dan OSCE (objective structural
clinical examination/ujian praktek). Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) harus
memiliki parameter pencapaian kompetensi sehingga diperlukan sebuah ujian
sebagai alat ukur pencapian kompetensi.
Pertanyaan
yang kemudian muncul sekaligus menjadi tuntutan banyak mahasiswa kedokteran dan
dokter adalah apakah perlu ujian tersebut dilaksanakan secara nasional? Dalam orasinya
di depan sekretariat IDI, ADMIN menuntut agar IDI memperjuangkan pelaksanaan
UKDI secara mandiri di tiap kampus kedokteran dan IDI pun memberikan jawaban
setuju dengan tuntutan ADMIN.
Menurut
hemat penulis, jika kualitas atau akreditasi kampus kedokteran di Indonesia
sudah baik maka pelaksanaan UKDI yang dilaksanakan secara mandiri oleh fakultas
kedokteran masing-masing masih dimungkinkan. Akantetapi melihat realitas kampus
kedokteran yang begitu menjamur dalam 5 tahun terakhir dengan tingkat akreditasi
yang masih rendah tentu menjadi sangat berisiko jika mengadakan UKDI secara
mandiri di setiap kampus. Belum lagi melihat fenomena ujian nasional SMA
ataupun SNMPTN/SBMPTN yang walaupun dilaksanakan secara nasional saja masih
sering kita menemukan berbagai tindak kecurangan.
Kita
juga perlu untuk mengkhawatirkan, pelaksanaan UKDI di tiap fakultas akan
menimbulkan suasana kompetisi di antara fakultas kedokteran untuk meningkatkan
jumlah lulusan UKDI-nya sehingga mendorong fakultas kedokteran untuk tidak
menilai secara lebih obyektif lagi. Dengan motif meningkatkan mutu dan gengsi fakultas,
hasil UKDI tentu dapat dimanipulasi. Fenomena ini bukan imajinasi semata karena
inilah yang terjadi di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.
Ketika
melaksanakan UKDI secara mandiri di setiap kampus kedokteran maka persiapan
pengawasan harus dipersiapkan dengan matang. Persoalannya adalah apakah
pemerintah mampu melakukan pengawasan di setiap kampus kedokteran yang ada di
Indonesia? Tidak ada jaminan transparansi pelaksanaan UKDI.
Menurut
penulis, pokok persoalan UKDI bukan pada pelaksanaannya yang dilakukan secara
nasional, tetapi pada biaya ujian, pengelolaan retaker dan akreditasi kampus. Biaya
CBT berkisar Rp. 300-400 ribu dan OSCE berkisar Rp. 600-700 ribu sehingga total
biaya ujian adalah 1 juta rupiah. Belum lagi bagi beberapa retaker yang harus
ujian lebih dari sekali tentu akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Tentu dengan biaya sebesar itu tidak akan
mampu diakses oleh orang-orang miskin.
Persoalan
kedua adalah pengelolaan retaker. Pemerintah seharusnya meminta Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) untuk mengelola retaker secara lebih
bijak. Perlu pelaksanaan bimbingan khusus atau transfer tenaga pengajar dari
daerah sentral ke daerah perifer. Persoalan ketiga adalah akreditasi kampus
kedokteran. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa jika membangun kampus
kedokteran maka pemilik kampus kedokteran harus mampu menyiapkan segala
fasilitas untuk menunjang kualitas belajar-mengajar. Jika kampus kedokteran
sudah benar-benar berkualitas tentu saja ujian apapun itu tidak akan menjadi polemik.
Sebagai
perbandingan, dokter di Jepang maksimal mengikuti UKDI hanya 3 kali, jika 3
kali tidak lulus maka dokter tersebut tidak boleh lagi mengikuti UKDI. Dibeberapa
Negara standar kelulusan UKDI-mya adalah 70 sementara di Indonesia 61. Dengan aturan
yang lebih ketat, dokter di Negara lain ternyata mampu menjalani prosesi
pendidikan kedokteran. Manusia Indonesia tentu saja tidak kalah cerdas dan optimistik
dalam menjalani masa pendidikannya.
Semoga
para retaker dapat menemukan cahaya kelulusannya dan semoga dokter Indonesia tidak
menjadi dokter yang impoten dalam artian tidak mampu mencapai kompetensi yang
seharusnya. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar