Kamis, 07 November 2013

Jangan percaya dengan dokter umum, mereka belum kompeten!

Judul tersebut belum terjadi saat ini, tetapi insya Allah akan terjadi di tahun 2014, ketika SJSN terlaksana. UU pendidikan kedokteran yang disahkan tahun ini, mensyaratkan dokter umum yang ingin berpraktek di spot BPJS harus melewati masa pendidikan dokter layanan primer.  Dengan kata lain, dokter umum dianggap belum berkompeten, sehingga harus disekolahkan lagi sehingga menjadi dokter umum dengan kompetensi yang lebih paripurna dan  itulah yang disebut sebagai dokter layanan primer.


Dokter layanan primer

Dokter layanan primer adalah produk dari UU pendidikan kedokteran yang disahkan di pertengahan tahun 2013.  DLP adalah kelanjutan dari pendidikan profesi kedokteran. DLP bukanlah dokter spesialis, tetapi dianggap setara dengan dokter spesialis.  DLP akan dilaksanakan di fakultas dengan akreditasi tertinggi. Untuk hal tekhnis, selanjutnya akan dijelaskan melalu Peraturan penjelas yang hingga kini belum ada. 

Dokter umum

Untuk menjadi seorang dokter, dibutuhkan waktu minimal 6 tahun, 3 tahun untuk pre klinik (kuliah),  2tahun untuk masa klinik (koas), 1 tahun untuk  masa pemahiran (internsip). Tidak hanya itu, untuk menjadi seorang dokter umum, harus melewati jenjang uji kompetensi dokter indonesia, dalam artian seseorang yang telah lulus uji kompetensi adalah orang-orang yang telah memiliki kompetensi sebagai dokter umum.  Akantetapi, anehnya adalah ketika hendak menjadi dokter umum di spot BPJS, dokter umum masih dianggap tidak kompeten.  Dokter yang bekerja di spot BPJS tidak diistilahkan sebagai dokter umum, melainkan sebagai dokter layanan primer. Hal inilah yang membuat dokter umum belum siap pakai.

Pendidikan kedokteran 

SJSN sebagai bentuk perubahan besar dalam layanan kesehatan di Indonesia nampaknya belum diikuti dengan perubahan besar dalam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Pemerintah sebagai regulator hanya berusaha memperketat sistem "keluar" dari fakultas kedokteran. Mahasiswa yang hendak menjadi dokter di filter sedemikian rupa sehingga nantinya mampu bekerja di layanan kesehatan. Bentuk regulasinya jelas, berupa Uji kompetensi dokter indonesia (UKDI) yang berbentuk ujian teori maupun praktik, internsip dan terakhir adalah dokter layanan primer. 

Akantetapi, kita perlu mengingat bahwa sistem tidak hanya terdiri dari output, input dan proses juga merupakan hal penting untuk menjamin sistem tersebut baik atau tidak. Regulasi dikti mengenai kuota masuk mahasiswa di fakultas kedokteran yang seharusnya berlaku tahun ini ( surat nomor 576/E/HK/2013), tidak dijalankan oleh satupun fakultas kedokteran yang ada. Teguran sang regulator bagaikan angin sepoi-sepoi, tidak membuat keresahan sama sekali.  Dari segi proses pendidikan kedokteran, masih lebih dari setengah fakultas kedokteran di Indonesia berakreditas C (akreditasi terendah untuk mendirikan fakultas kedokteran). Kesenjangan jumlah dosen mahasiswa dan fasilitas yang minim masih menjadi masalah di fakultas kedokteran. Pemeritah seharusnya segera memperbaiki dengan serius input dan proses pendidikan fakultas kedokteran dan yang terpenting, kita perlu memikirkan untuk menyamakan frekuensi layanan kesehatan di era sjsn dengan model pendidikan kedokteran yang kita anut. Mismatch antar keduanya akan menyebabkan dokter yang kita hasilkan adalah dokter yang tidak berguna, karena tidak siap mengabdikan diri di layanan kesehatan pada era sjsn.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaykum, Kak Rais. Salam kenal, Kak. Saya Damar Gumilar, saya bersekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya. Saya tertarik dengan artikel Kakak, pertanyaan saya, bagaimana dengan dokter umum yang usianya udah 40an tahun misalnya, apakah harus mengikuti DLP agar menjadi dokter yang lebih kompeten? Teria kasih, Kak. Wassalamu'alaykum..

    BalasHapus

Pencarian