Minggu, 19 Mei 2013

UKDI ; Antara Dokter Berkompeten Atau Impoten


Pada tanggal 17 mei 2013, ADMIN (aliansi dokter muda Indonesia) berkumpul dan berorasi di depan sekretariat IDI untuk menuntut penghapusan pelaksanaan UKDI (Uji Kompetensi dokter Indonesia) secara nasional. Pelaksanaan UKDI dinilai memiliki banyak persoalan, diantaranya biaya UKDI yang mahal dan sejumlah 1770 dokter yang belum memiliki surat tanda registrasi (STR) akibat belum lulus UKDI.
Banyaknya retaker (dokter yang UKDI lebih dari satu kali) tentu akan menimbulkan masalah tersendiri, karena kebutuhan dokter di Indonesia terus meningkat sementara ribuan dokter harus menganggur karena terhalang oleh UKDI. Selain itu, beban psikologis yang dialami oleh para retaker juga menjadi persoalan tersendiri. Kesulitan UKDI yang lain adalah karena bedanya kualitas dan kuantitas tenaga pengajar serta fasilitas kampus kedokteran sehingga membuat kampus kedokteran di daerah perifer cenderung memiliki tingkat kelulusan UKDI yang lebih rendah.

UKDI sendiri telah berlangsung sejak tahun 2007 dan dilandasi oleh UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. UU tersebut mengamanatkan bahwa syarat pengambilan STR dokter harus memiliki surat lulus kompetensi. Saat ini, ada dua jenis UKDI yaitu CBT (computer based testing/ujian tulis) dan OSCE (objective structural clinical examination/ujian praktek). Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) harus memiliki parameter pencapaian kompetensi sehingga diperlukan sebuah ujian sebagai alat ukur pencapian kompetensi.  

Pertanyaan yang kemudian muncul sekaligus menjadi tuntutan banyak mahasiswa kedokteran dan dokter adalah apakah perlu ujian tersebut dilaksanakan secara nasional? Dalam orasinya di depan sekretariat IDI, ADMIN menuntut agar IDI memperjuangkan pelaksanaan UKDI secara mandiri di tiap kampus kedokteran dan IDI pun memberikan jawaban setuju dengan tuntutan ADMIN.

Menurut hemat penulis, jika kualitas atau akreditasi kampus kedokteran di Indonesia sudah baik maka pelaksanaan UKDI yang dilaksanakan secara mandiri oleh fakultas kedokteran masing-masing masih dimungkinkan. Akantetapi melihat realitas kampus kedokteran yang begitu menjamur dalam 5 tahun terakhir dengan tingkat akreditasi yang masih rendah tentu menjadi sangat berisiko jika mengadakan UKDI secara mandiri di setiap kampus. Belum lagi melihat fenomena ujian nasional SMA ataupun SNMPTN/SBMPTN yang walaupun dilaksanakan secara nasional saja masih sering kita menemukan berbagai tindak kecurangan.

Kita juga perlu untuk mengkhawatirkan, pelaksanaan UKDI di tiap fakultas akan menimbulkan suasana kompetisi di antara fakultas kedokteran untuk meningkatkan jumlah lulusan UKDI-nya sehingga mendorong fakultas kedokteran untuk tidak menilai secara lebih obyektif lagi. Dengan motif meningkatkan mutu dan gengsi fakultas, hasil UKDI tentu dapat dimanipulasi. Fenomena ini bukan imajinasi semata karena inilah yang terjadi di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.

Ketika melaksanakan UKDI secara mandiri di setiap kampus kedokteran maka persiapan pengawasan harus dipersiapkan dengan matang. Persoalannya adalah apakah pemerintah mampu melakukan pengawasan di setiap kampus kedokteran yang ada di Indonesia? Tidak ada jaminan transparansi pelaksanaan UKDI.
Menurut penulis, pokok persoalan UKDI bukan pada pelaksanaannya yang dilakukan secara nasional, tetapi pada biaya ujian, pengelolaan retaker dan akreditasi kampus. Biaya CBT berkisar Rp. 300-400 ribu dan OSCE berkisar Rp. 600-700 ribu sehingga total biaya ujian adalah 1 juta rupiah. Belum lagi bagi beberapa retaker yang harus ujian lebih dari sekali tentu akan membutuhkan biaya yang lebih besar.  Tentu dengan biaya sebesar itu tidak akan mampu diakses oleh orang-orang miskin.

Persoalan kedua adalah pengelolaan retaker. Pemerintah seharusnya meminta Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) untuk mengelola retaker secara lebih bijak. Perlu pelaksanaan bimbingan khusus atau transfer tenaga pengajar dari daerah sentral ke daerah perifer. Persoalan ketiga adalah akreditasi kampus kedokteran. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa jika membangun kampus kedokteran maka pemilik kampus kedokteran harus mampu menyiapkan segala fasilitas untuk menunjang kualitas belajar-mengajar. Jika kampus kedokteran sudah benar-benar berkualitas tentu saja ujian apapun itu tidak akan menjadi polemik.

Sebagai perbandingan, dokter di Jepang maksimal mengikuti UKDI hanya 3 kali, jika 3 kali tidak lulus maka dokter tersebut tidak boleh lagi mengikuti UKDI. Dibeberapa Negara standar kelulusan UKDI-mya adalah 70 sementara di Indonesia 61. Dengan aturan yang lebih ketat, dokter di Negara lain ternyata mampu menjalani prosesi pendidikan kedokteran. Manusia Indonesia tentu saja tidak kalah cerdas dan optimistik dalam menjalani masa pendidikannya.

Semoga para retaker dapat menemukan cahaya kelulusannya dan semoga dokter Indonesia tidak menjadi dokter yang impoten dalam artian tidak mampu mencapai kompetensi yang seharusnya. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencarian