Sabtu, 16 Februari 2013

Menimbang Kembali Internship

Abad 20 dikenal sebagai era modern.  Beberapa filsuf bahkan mengkalim beberapa decade ini sebagai masa radikalisasi modernitas.  Masa dimana modernitas merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan manusia.  Pakar sosiolog dan filsuf pun sepakat bahwa modernitas meniscayakan profesionalisme. Berbagai profesi  berlomba-lomba menyediakan system yang baik agar dapat menjawab tantangan pasar. System yang baik itu dimulai dari system pendidikan, deskripsi pekerjaan, rekrutmen dsb.

Dokter sebagai salah satu tenaga professional  dibidang kesehatan menata system tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan seperti penataan kompetensi dokter Indonesia disertai uji kompetensi dokter Indonesia (CBT dan OSCE), perubahan kurikulum  dan meluncurkan UU praktek kedokteran. Berbagai upaya itu dirasa belum cukup untuk menghasilkan dokter professional. Produk dokter yang dihasilkan  dari masa kuliah selama 5 tahun masih dirasa belum cukup kompeten, sehingga pemerintah melalui kementrian kesehatan meluncurkan permenkes no 299 tahun 2010 tentang internship. Internship didefinisikan sebagai pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Intinya internship bertujuan untuk mematangkan kempetensi dokter yang dihasilkan.  Secara tekhnis, program internship diwajibkan kepada seluruh dokter yang telah lulus UKDI, dijalankan selama setahun di RS tipe C, tipe D atau puskesmas di ibukota provinsi atau ibukota kabupaten. 5 dokter internship akan disupervisi oleh seorang dokter pembimbing dan dokter pembimbing wajib mengadakan evaluasi kasus tiga bulan sekali. Karena peserta internship adalah dokter (bukan lagi mahasiswa) maka dokter yang sedang menjalani internship diberikan biaya hidup sebesar Rp. 1.200.000 per bulan. Bagi yang tidak menjalankan internship maka tidak akan diberikan Surat tanda registrasi (STR) yang berarti dokter tersebut dilarang berpraktek dimanapun diwilayah Indonesia.
Upaya menghasilakn dokter professional melalui program internship ini akhirnya menuai polemik.  Masalah pertama adalah bagaimana mungkin dokter yang telah lulus UKDI masih dianggap tidak berkompetensi?logikanya adalah setiap orang yang telah lulus uji kompetensi artinya telah berkompetensi.  Kedua adalah persoalan biaya hidup. Bagaimana mungkin dokter dituntut professional dalam bekerja sementara upahnya dibawah Upah minimum regional (UMR). Bagaimana mungkin dokter yang merupakan tenaga professional dibayar dibawah UMR?ketiga adalah berbagai persoalan teknis yang terjadi dilapangan seperti intimidasi atau pembebana kerja kepada dokter internship, biaya hidup yang telat dibayar, wahana yang tidak siap dsb. Bagaimana mungkin system yang dikelola secara tidak professional akan menghasilkan produk yang tidak professional?
Layangan penolakan internship oleh komisi IX DPR RI dua bulan yang lalu semakin meyakinkan kita betapa internship ini produk yang perlu dipertanyakan. Indikasi  bahwa internship adalah akal-akalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dokter murah diseluruh wilayah Indonesia pun berkembang.  Dengan internship, pemerintah tentu tidak perlu repot-repot membayar mahal tenaga dokter.
Menurut penulis, permenkes no 299 tahun 2010 sebagai dasar yuridis hadirnya intership bukanlah jawaban atas tuntutan profesionalisme. Substansi intership adalah pematangan kompetensi dokter. Seharusnya proses pematangan ini terintegrasi di dalam system pendidikan kedokteran. Usaha pemandirian dokter harusnya terintegrasi dengan pendidikan kedokteran sehingga produk pendidikan kita adalah produk yang siap pakai bukanlah produk gagal yang masih dianggap belum mandiri. Jadi, subtansi pemandirian ini bisa dimasukkan setelah melewati masa coass dan sebelum menjadi dokter. Olehnya, upaya kemenkes ini adalah upaya yang salah alamat dan salah langkah. Salah alamat karena tanggung jawab kualitas dokter ada ditangan kementrian pendidikan. Selain itu, kecilnya biaya hidup yang diberikan akibat minimalnya APBN kesehatan (tidak sampai 3%). Bandingkan dengan Malaysia yang mampu memberikan biaya hidup sekitar Rp. 10juta perbulan kepada dokter internshipnya. Salah langkah karena sekali lagi, program internship bukanlah jawaban atas tuntutan profesionalisme.
Semoga pemerintah dengan segera mengevaluasi internship dan segera memperbaikinya. Semoga kualitas dokter semakin professional di masa mendatang. MERDEKA.

4 komentar:

  1. Bagaimana mungkin system yang dikelola secara tidak professional akan menghasilkan produk yang tidak professional?

    *maksud-x mungkin produk yang professional kanda :)

    Like this posting :D

    BalasHapus
  2. Keren tulisannya! Maju gondrong! \(^^)/

    BalasHapus
  3. @adit : ooh, iya, salah tulis, terlalu semangat mungkin..hahaha..
    @dini : nda gondrong mi coy..haha

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Pencarian