Rabu, 12 November 2014

Indonesia Sehat, Mungkinkah?

12 November 2014 disebut sebagai tahun emas kesehatan Indonesia. Selama 50 tahun tersebut, Berton-ton antibiotik sudah diberikan kepada penderita infeksi, jutaan vaksin telah diberikan kepada anak-anak kita, berbagai skema pembiayaan kesehatan seperti Jamkesmas, bantuan operasional kesehatan (BOK) hingga SJSN telah diimplementasikan. Akantetapi, kita justru dikagetkan dengan data-data kesehatan yang masih buruk.


Malaria, demam berdarah, tifoid, diare tetap menjadi pembunuh  di bumi Indonesia. Kita lebih dikagetkan lagi dengan kenaikan angka kematian ibu dan anak dari 228 per 100.000 ditahun 2007 menjadi 359 per 100.000 pada tahun 2012dan hal itu terjadi ditengah upaya yang digaungkan oleh pemerintah  untuk mengejar target MDGS. Sementara itu, penyakit degenaratif  seperti diabetes melitus, hipertensi, stroke dll hadir sebagai 60% dari penyakit yang membunuh masyarakat kita. 

Hal ini membuat kualitas manusia Indonesia (human developement index) berada pada peringkat 121. Padahal sejak tahun 1991, UNDP telah mendeklarasikan bahwa "human is the real wealth of nation." kualitas manusia Indonesia yang merosot tentu saja berdampak pada kualitas pembangunan bangsa yang menyedihkan. Rusaknya pembangunan bangsa berujung pada pemberian predikat sebagai negara gagal untuk bangsa Indonesia (fund for peace, 2012). 

Jika menilik gagasan Daron Acomeglu dan James Robinson bahwa negara gagal disebabkan oleh institusi ekonomi dan politik yang ekstraktif.  Institusi politik dan ekonomi yang selalu menyulitkan akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Olehnya itu, negara harus bertransformasi menjadi negara/institusi yang inklusif dimana institusi ekonomi dan politik negara tersebut memberikan kemudahan bahkan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan  menaikkan daya saing bangsa.  

 Kita perlu segera mereformasi birokrasi kita. Presiden Amerika, Bill Clinton, bahkan menginstruksikan wakil presidennya, Al Gore, untuk memimpin pembenahan birokrasi. Setelah memiliki birokrasi yang ramah dan memudahkan, kita perlu menjalankan strategy menuju Indonesia sehat. Sebenarnya kita sudah pernah bermimpi untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010, kemudian tertunda menjadi Indonesia sehat 2015 dan terakhir ditunda lagi menjadi 2020.  Apa penyebab kegagalan kita mewujudkan Indonesia sehat?

Sepenggal cerita dari tulisan Prof Purnawan Junadi mungkin akan menggambarkan bagaimana seseorang bisa menjadi sakit.

Why is Jason in the hospital? Because he had bad  infection in his leg.
But why does he have an infection? Because he has a cut on his leg and it got infected.
But why does he have a cut on his leg?because he was playing in the junk yard next to his apartement building and there was some sharped, jagged steel there that he fell on.
But why was he playing in the junk yard? Because his neighborhood is kind of run down. A lot of kids play there and there is no one to supervise them.
But why does  he live in that neighborhood? Because his parents cant't afford a nicer place to live.
But why cant't his parents afford a nicer place to live?  Because his dad is unemployed and his mom is sick.
But why is his dad unemployed? Because he doesn't have much education and he cant't find a job.
But why ...?

Cerita tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa menyehatkan manusia adalah perkara yang kompleks. Pakar-pakar sosiology kesehatan seperti kevin white telah mengingatkan bahwa selain faktor biologis, ada faktor lain yang mempengaruhi manusia menjadi sakit, diantaranya faktor sosio-kultural. Pesannya adalah persoalan kesehatan harus dilihat secara holistik, bahwa jika hanya dengan pendekatan kombinasi antibiotik tidak akan mampu mengeradikasi TB. 

Dari mana kita harus memulai?

Ketika terjadi wabah kolera di Bangladesh pada tahun 1960, WHO melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas penanganan kolera yang dilakukan oleh perawat, dokter, dokter spesialis dan para ibu pemiliki bayi dan balita. Dari penelitian selama beberapa bulan, ternyata jumlah terbanyak penderita kolera yang meninggal dunia adalah mereka yang berupaya mencari pengobatan dokter spesialis dan dokter umum. Di urutan kedua adalah pasien yang mengunjungi perawat. Pada penanganan kolera yang dilakukan oleh para ibu yang memiliki bayi dan balita justru tidak terdapat korban meninggal.

Penelitian lain, dilakukan oleh R.N.Gosse untuk mengetahui faktor apa yang paling mempengaruhi angka kematian bayi dan anak di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia.  Kesimpulannya adalah faktor yang berpengaruh terhadap penurunan angka kematian bayi, angka kematian ibu, dan jangka harapan hidup secara berurutan (dari yang pengaruhnya terbesar) adalah  tingkat pendidikan, terutama pendidikan pada perempuan; ketersediaan air bersih dan nutrisi bergizi;  tingkat sanitasi (lingkungan dan rumah tangga); sarana komunikasi dan transportasi; baru kemudian tingkat pendapatan (ekonomi). dan yang paling kecil peranannya adalah tersedianya fasilitas kesehatan serta dokter. Menurut Gosse, peranan ketersediaan sarana kesehatan dan dokter terhadap angka-angka tadi hanyalah 4%.

Dari kedua penelitian tersebut dapat terlihat bagaimana pentingnya kualitas sumber daya manusia sangat mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Ternyata, pendidikan kesehatan amat berperan untuk mewujudkan Indonesia  sehat. Akantetapi, ditengah riset yang menunjukkan pentingnya pendidikan kesehatan, anggaran kesehatan yang tidak pernah tembus 3% (menurut UU kesehatan no 30 tahun 2009 minimal 5%), tidak pernah memberikan perhatian yang serius untuk pendidikan kesehatan (preventif dan promotif). Gizi seimbang yang merupakan pengganti 4 sehat 5 sempurna tidak dikenali oleh masyarakat kita. Puskesmas yang merupakan ujung tombak pendidikan kesehatan dan penanggulangan awal penyakit justru 30% tidak diisi oleh dokter. Meminjam istilah Prof. Purnawan Junadi kita perlu jalan cerdas menuju Indonesia sehat, yaitu dengan menghilangkan lebih dulu penyebab mengapa  manusia menjadi sakit. Dengan kedua penelitian tersebut, sudah saatnya kita segera membangun manusia Indonesia. Harta terpenting Bangsa ini bukanlah sumber daya alamnya, tetapi sumber daya manusia











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencarian