Rabu, 27 Maret 2013

Patology Konsumerisme




Abad 20 ditandai dengan semakin mengguritanya kapitalisme. Seiring ramalan Francis Fukuyama bahwa kapitalisme adalah satu-satunya logika yang dapat bertahan hingga kini dan nanti, logika ekonomi yang mendasarinya merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Efeknya adalah semakin membahananya konsumerisme. Dari berbagai dialektika yang berkembang, konsumerisme ini sesungguhnya sedang berusaha menguras uang masyarakat dan memperkaya pemilik modal. Konsumsi berlebihan tentu akan berakibat pada tidak sehatnya ekonomi dan merusak karakter bangsa. Akantetapi, bagaimana efek konsumerisme terhadap kesehatan?


Dijaman dulu, dunia hanya disibukkan dengan penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah, tifoid dsb nya, tetapi dizaman sekarang ini telah berkembang non-comunicable disease (penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, stroke dsb). Data WHO menyebutkan 17 juta warga Indonesia adalah penderita diabetes mellitus (kencing manis) sehingga Indonesia berada diperingkat ke-4 sebagai penderita Diabetes Melitus (DM) terbanyak di dunia dunia. Secara teori, efek DM bisa menyebabkan kebutaan, kerusakan ginjal, saraf, jantung atau menyebabkan stroke. DM juga membuat pasien merasa lemas sehingga sangat mengurangi produktifitasnya. Untuk peyakit jantung koroner (PJK) adalah pembunuh nomor satu di Indonesia. Di tahun 2012, diperkirakan 1 juta warga Indonesia terkena kanker. Sementara itu, Yayasan stroke Indonesia merilis bahwa penderita stroke di Indonesia adalah yang terbanyak di Asia. Berbagai penyakit degenerative seperti diatas dapat mengakibatkan kecacatan hingga kematian, sehingga quality of life penderitanya menurun drastis. Lama perawatan terhadap penyakit tersebut juga menjadi masalah tersendiri karena akan memperlama rendahnya kualitas hidup pasien. Belum lagi persoalan pembiayaan yang begitu besar. Bayangkan saja, untuk biaya operasi jantung atau kemoterapi bisa memakan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah. Jika pembiayaan ini ditanggung oleh pasien, tentu akan memiskinkan pasien dan keluarganya dan jika dibebankan kepada Negara maka akan sangat membebani APBN kita. 

Hal yang membuat lebih parah adalah pergeseran prevalensi penyakit tidak menular mulai bergeser dari umur 40-an keatas menjadi 30-an keatas. Pergeseran ini seolah menghancurkan mitos bahwa Non-Comunicable Disease hanya menyerang orang tua saja. Para ahli juga memperkirakan non-comunicable disease akan terus meningkat seiring dengan makin pasifnya pekerjaan di masa yang akan datang. Berada diatas kursi atau didepan komputer adalah pekerjaan yang sangat mendominasi, sehingga semakin mengurangi gerak masyarakat. Kemajuan technology juga membuat masyarakat semakin malas untuk bergerak. 

Konsumenarisme meniscayakan hiperealitas. Makna objek melebihi realitas objektifnya. Junk food yang merupakan makanan tidak sehat berhasil melekatkan tanda pada dirinya sebagai makanan kelas atas, sehingga menimbulkan kesan “orang berada” kepada konsumennya. Begitu pula dengan rokok, dengan citra yang ditampilkan media secara terus-menerus telah berhasil memberikan makna keren pada setiap perokok. Hiperealitas ini mengakibatkan konsumerisme sehingga berujung pada semakin sakitnya masyarakat. 

Perubahan pola penyakit seharusnya mampu mendorong pemerintah untuk semakin kreatif dalam menyehatkan masyarakatnya. First lady USA, Michelle obama misalnya, rela menari let’s move didepan kamera untuk mendorong pemberantasan obesitas di negaranya. Negara-negara maju juga memberlakukan aturan yang sangat ketat dalam membatasi peredaran rokok. Sementara di Indonesia, mengesahkan Peraturan Presiden tentang pengendalian tembakau saja harus melalui dinamika yang begitu sulit, kampanye tentang gizi seimbang tak terdengar lagi gaungnya, APBN untuk kesehatan tidak pernah sesuai amanah UU (amanah UU 5%, tetapi yang dianggarkan tidak pernah mencapai 3%). Di Indonesia, setiap orang nampak bebas merokok dimanapun mereka mau, artinya pemerintah telah gagal dalam usaha penyediaan udara yang bersih sesuai dengan amanah UU. Pemerintah juga nampak tidak mampu mengendalikan dibukanya gerai-gerai junk food, artinya pemerintah telah gagal menyediakan pilihan makanan sehat bagi warganya. Saya masih sangat yakin, masyarakat Indonesia lebih mengenal slogan “empat sehat lima sempurna” dibandingkan  “gizi seimbang,” itu artinya pemerintah telah gagal mengkampanyekan makanan sehat untuk masyarakat. Ditambah lagi anggaran kesehatan yang telah melanggar amanah UU, yang berarti pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap persoalan kesehatan bangsa. Pemerintah Nampak seperti sedang terserang stroke sehingga lumpuh dan tidak mampu lagi menyehatkan warganya.  Padahal masyarakat kini sedang sakit.  Tentu saja,  kita sedang menunggu obat yang kreatif, tegas dan berkesinambungan dari pemerintah untuk kembali menyehatkan warganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pencarian